Minggu, 31 Juli 2016

Seri 10 : Godaan Yang Melalaikan (2)

Bapaknya adalah seorang pengusaha, pak Nasution namanya. Sedangkan ibunya adalah keturunan cina asli yang juga super sibuk dengan karirnya. Ini yang kemudian menjadikan Dilla lebih sering terlihat murung dan suka menyendiri di kelas saat jam istirahat.

Aku dan Dilla adalah teman sekelas sejak kelas satu hingga kelas tiga SMP, kami berdua sama-sama bisa bertahan di kelas unggulan. Entah bagaimana awalnya Dilla ini bisa dekat, bahkan sangat dekat denganku. Karena jujur saja, selain kaya dan tajir, Dilla juga memiliki paras wajah yang cantik, hampir sempurna mungkin. Yang aku ingat, aku pernah sempat jatuh cinta padanya saat pertama melihatnya pada acara MOS (Masa Orientasi Siswa). Bahkan aku tambah bahagia saat tahu kalau si Dilla juga ternyata sekelas denganku di kelas 1-1 (baca: satu satu). Tapi lucunya, walau kami sekelas saat itu, rasanya bisa dihitung berapa kali kami ngobrol di dalam kelas. Maklum juga sih, saat kelas satu kami memang belum terlalu saling mengenal dan akrab dengan yang lain.

Dilla mulai dekat denganku saat kami kelas 2, kebetulan saat itu saya diangkat jadi "duta" oleh guru matematika. Semenjak itu, hampir setiap hari kami mesti belajar kelompok, dan aku didaulat jadi ketua kelompoknya. Hingga suatu hari, Dilla mulai bercerita mengenai bapak ibunya yang selalu sibuk dan hampir tidak pernah memberikan dia perhatian dan kasih sayang, Dilla merasa hidupnya hambar. Sejak saat itu, Dilla pun semakin akrab dan dekat sekali denganku, bahkan sangat dekat.

Baru kali ini aku merasakan betul-betul memiliki sesuatu yang menjadikan aku tidak ingin menjauh, apalagi berpisah dengannya. Bahkan rasa ini yang lantas menjadikan aku sadar dan berhenti dari suka menyakiti perasaan orang lain. Semenjak dekat dengan Dilla, harus ku akui ada banyak sekali perubahan yang terjadi pada diriku, mulai dari emosi, semangat belajar juga mudah memaafkan orang lain, Dilla betul-betul sesuatu bagiku hingga hari ini.

"Ah... kenapa aku jadi mikirin Dilla." gumamku dalam hati.

"Alamak... udah jam 9 pulak, udah sejam lebih awak disini." aku kaget saat melihat jam di warnet sudah menunjuk ke angka 9.

Aku pun langsung bersiap untuk pergi meninggalkan warnet. Sebab kalau terlalu siang dari sini, khawatirnya di Kayu Putih dan Pulo Brayan (nama jalan di Medan) macet parah, bisa-bisa malam baru nyampe kosan.

***

"Akhirnya nyampe juga." gumamku dalam hati.

Ku lihat jam baru menunjukkan pukul 11.00, kayaknya masih bisa tidur dulu sebelum masuk waktu zuhur. Ku coba untuk memejamkan mata, berat. Tiba-tiba pikiranku kembali lagi ke rumah, teringat kembali peristiwa subuh kemaren, ah nyesak rasanya.

Kenapa cobaan udah datang bertubi-tubi gini ya. Baru rasanya kemaren aku berjanji gak mau lagi nyentuh gitar ini (sembari tanganku memegang gitar kesayanganku), eh besok terpaksa harus manggung lagi. Rencana ikutan festival ini sebenarnya udah jauh-jauh hari kita persiapkan, bahkan sebelum aku ikut pesantren kilat.

Festival ini tergolong besar dan wah, yang jadi sponsornya aja Djarum Super dan Nokia, udah pasti hadiahnya juga oke. Aku sudah bisa bayangkan gimana ramainya acara festival sebesar itu, pasti yang ikut juga gak sedikit. Tapi kalau melihat kemampuan grup kami, aku sangat optimis, minimal juara 3 itu pasti udah di tangan kami, bukan tanpa alasan loh aku bisa seyakin ini. Di grup kami, yang paling kelihatan menonjol kemampuannya adalah si Jefry. Aku sendiri heran, kenapa orang seperti Jefry saat itu langsung mau saat kami lamar untuk gabung ke grup kami. Selain Jefry, Rasyid juga gak kalah keren. Walau belajar drumnya otodidak, tapi kayaknya dia mudah sekali mengikuti dan menjiplak setiap gebukan drum yang dia dengar.

Pernah nih suatu hari, Ungu mengeluarkan lagu baru yang judulnya "Jika Itu Memang Terbaik", baru dua kali didengerin, eh si Rasyid udah bisa niruin mirip banget dengan drummer aslinya. Padahal Jefry butuh seharian untuk bisa menemukan chord beserta lead melody yang dipakai dalam lagu itu. Makanya kadang aku dan Andre merasa seolah cuma jadi bumbu pelengkap di grup itu, sedangkan bintangnya adalah Rasyid dan Jefry. Kalau sudah gini, mau gak mau aku dan Andre harus betul-betul belajar menyesuaikan diri agar tidak terlalu membuat malu Jefry dan Rasyid. Kan gak lucu, gitar dah oke, drum juga keren, kok malah vocalis dan bassnya melempem.

Oh iya, band kecil kami ini namanya Dinasty, Jefry yang kasih nama. Kata dia kenapa memilih nama Dinasty, pertama, karena dulu band lama dia juga Dinasty, jadi untuk mengenang kejayaannya katanya. Kedua, karena dia ingin band ini menjadi Dinasty baru di dalam dunia permusikan, hahaha... agak lebay memang.

***

Malam itu, setelah selesai sholat isya, aku pun berangkat ke warungnya Jefry.

"Halo Jef, kekmana kabar kau? Sehat kan?" kataku.

"Wah, kemana aja kau Jack?" jawab Jefry.

"Mudik bro, hahaha." kataku sambil ngakak.

"Gilak kau, kayak punya kampung aja pun." jawab Jefry dengan kelakar.

"Eh mana Rasyid sama Andre? Udah nyampe belum?" kataku.

"Ke galon (POM bensin -bahasa medan-) tadi orang itu." jawab Jefry.

Ternyata Rasyid dan Andre udah lebih dulu nyampe ke warungnya Jefry. Oh iya kelupaan, warung Jefry ini bukan warung makan atau warung jual jajanan dan makanan ringan, tapi warung Jefry adalah warung khusus jualan tuak (sejenis minuman keras), atau di Medan dikenal dengan istilah Lapo Tuak. Inilah salah satu alasan kenapa aku terkadang malas main kesini, harus ketemu orang mabuk yang selalu ngeluarin kata-kata yang penuh kebun binatang, anjing berkeliaran disana-sini. Belum lagi kawan-kawannya Jefry yang selalu membully aku karena gak bisa minum tuak. Pernah sih aku nyoba untuk minum, karena penasaran dan malu juga tentunya, tapi apa yang terjadi? Ketika pertama nyoba minum, langsung perut rasanya seperti diblender dari dalam, dan lalu akhirnya semua isi perut pun keluar lewat muntahan. Bukannya malah ditolongin, kawan-kawan saat itu malah tertawa cekikikan sambil ngomong, "masih perjaka rupanya dia, hahaha...".

Karena malu dan tak mau dibully, aku coba minum sekali lagi, eh ternyata lagi-lagi semua isi perut pun keluar. Karena sudah lemas, aku pun menyerah dan bilang ke mereka, "kayaknya aku ditakdirkan gak boleh mabuk-mabukan woy, belikan fanta aja lah!" dan semenjak hari itu hingga sekarang, aku betul-betul kapok nyoba-nyoba minum tuak, alhamduliLlah.

"Nah itu Rasyid sama Andre!" kata Jefry saat melihat motornya Rasyid dari kejauhan.

"Woy genk, kemana aja kau, amankan?" tanya Andre padaku.

"Masih di medan lah wak, hahahaha." jawabku.

"Ku kira dah mati kau, hahaha." kata Andre sambil meninju lenganku.

"Terus kekmana (bagaimana) festival besok bro?" tanyaku pada Rasyid.

Selama ini yang aktif mencari info festival adalah Rasyid, bahkan boleh dibilang dia ini humasnya Dinasty.

"Kayak biasa, lagu wajib 2 sama lagu ciptaan kita sendiri." jawab Rasyid.

"Lagu wajibnya apa aja?" tanyaku lagi penasaran.

"Waktu latihan kita tinggal besok loh?" kata Jefry menyela pembicaraan.

"Tenang, lagu wajibnya udah kupilih, Pelanginya Boomerang dan Topeng Peterpen, kekmana menurut kelen (kalian)?" kata Rasyid mantap.

"Nah patenlah itu, udah biasa kita bawa ya kan?" jawabku.

"Yaudah aku setuju." kata Andre.

"Okelah, aku ngikut kelen aja!" kata Jefry.

"Oke, lagu wajib berarti beres. Terus lagu kita, yang mana kira-kira mau dipake?" tanya Rasyid.

"Yang "Malam Minggu" aja, keren tuh." kata Jefry.

"Wah, aku yang harus kerja keras tuh. Nanti bantu tutupin lah ya suaraku." kataku mengomentari perkataan Jefry.

"Tenang, nanti aku sama Rasyid jadi backing vocal lah." jawab Jefry.

"Oke paten," kata Rasyid "kau ada kendala gak Ndre?"

"Belum ada kayaknya," jawab Andre singkat.

"Oh ya, untuk kostum gimana bro?" kataku bertanya pada Rasyid.

"Nah iya, kita pake full black dan dasi putih aja ya. Kayak festival di Belawan kemaren itu." jawab Rasyid.

"Oke... setuju." jawab aku, Jefry dan Andre serentak.

"Oke, berarti besok kita gladi resik nih ya?" tanya Rasyid.

"Dimana kira-kira?" tanya Andre.

"Di Andika aja kekmana?" kata Jefry.

"Aku setuju tuh di Andika, komplit alat-alatnya, nyaman lagi." kataku.

(Andika adalah nama studio musik langganan kami)

"Yaudah, besok di Andika. Jam 10 ya!" kata Rasyid.

"Oke..." jawab kami bertiga serentak.

Setelah semuanya disetujui, kami pun bersiap-siap untuk kembali ke rumah masing-masing. Aku merasa malam ini kembali bersemangat, benih-benih jahiliyah sepertinya mulai kembali bertumbuhan di dalam dadaku saat itu.


Bersambung in syaa Allah

Next : Godaan Yang Melalaikan (3)

Kamis, 28 Juli 2016

Seri 9 : Godaan Yang Melalaikan

"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui." (QS. Ali 'Imran : 135)

***

Saat itu aku sudah kalap, pikiran jernihku sudah hilang ditelan oleh amarah yang tengah membara. Aku sangat tidak terima jika adikku memakiku, apalagi sampai ia berani menantangku! Aku cari di seisi kamar senjata yang bisa kupakai, hanya ada sebatang sapu. Ini pun jadi...

Tiba-tiba Jono langsung menikamkan pisau yang dipegangnya ke arahku, ia menarget perutku. Secara reflek aku menghindari serangannya, sambil kupukulkan gagang sapu yang ku pegang ini ke tangannya.

Pisau yang dipegangnya pun terjatuh, lalu dengan sigap ia kembali mengambil lagi pisau tersebut.

"An**ng kau, mati aja kau lah!!!", teriak Jono sambil meringis menahan sakit di tangannya.

"Woy... sopan sikit kau kalo ngomong!!!", teriakku padanya.

Mendengar suara gaduh di kamar belakang, ayahku pun bangun, beliau langsung berlari ke belakang.

"WOY ANAK SETAAAN!!! NGAPAIN KELEN INI HAH?!?!", teriak ayahku seperti orang kesurupan.

"UDAH HEBAT KALI KELEN RUPANYA? UDAH TAHAN BACOK KELEN RUPANYA HAH?!?!", teriak ayahku dengan penuh luapan emosi.

"Dia nih Yah sok paten kali, bangunin orang tidur kayak mau ngajak orang berantem!!!", jawab Jono gak mau kalah.

"Aku kan bangunin kelen baik-baik, ngajak sholat bukan ngajak berantem", jawabku mencoba menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.

"Kalo orang gak mau sholat, jangan kau paksa lah!!!", kata Jono masih membela dirinya.

"Trus kelen ini maunya apa hah? Mau bacok-bacokan sampe ada yang mati, gitu???", kata ayahku.

"Udahlah Bang, kau berangkat aja ke masjid sendiri, daripada jadi panjang urusannya", kata Joni mencoba untuk melerai kami.

Walau Jono dan Joni kembar identik, tapi soal kepribadian, mereka sepertinya memiliki karakter yang sangat berbeda. Adikku Joni lebih kalem, mirip ibuku. Sedangkan Jono sangat mudah terpancing emosinya, lebih mirip ayahku. Aku sendiri? Sepertinya gabungan dari ayah dan ibuku.

"Yaudahlah terserah kelen, diajak yang baik kok gak mau!!!", kataku sambil berlalu pergi meninggalkan mereka.

***

Pagi itu aku sangat marah, sangat sangat marah. Aku masih gak terima dengan perlakuan adikku yang udah berani melawan dan mengancamku. Aku gak tahu, siapa yang harus ku salahkan saat ini, adikku yang seperti itu, atau ayahku yang memang selalu membela dan memanjakan mereka? Atau malah semua ini karena salahku yang terlalu egois dan memaksakan semua kehendaku? Entahlah... aku bingung.

Semua perasaan bercampur aduk pagi itu, sedih, marah, kesal, gondok, semua bergejolak di dalam dada ini. Subuh yang syahdu itu pun tak mampu kurasakan indahnya. Suasana subuh yang tenang pagi itu, serasa hambar dan tak ada rasa yang bisa menenangkan jiwa. Aku masih sangat marah!!!

"Ada apa Ron? Kayaknya cemberut terus abang perhatikan", tanya bang Sofyan membuyarkan lamunanku setelah sholat subuh.

"Eh... gak apa-apa bang, aman terkendali kok", jawabku sedikit gugup.

"Owh yaudah... Jangan sungkan kalau mau cerita sama abang ya. Kau kapan balek (pulang)?", tanya bang Sofyan.

"Pagi ini kayaknya bang", jawabku datar.

"Makjang! Cepet kali", kata bang Sofyan sedikit heran.

"Hehe... iya nih bang, lagi banyak agenda juga di sekolah", aku mencoba meyakinkannya.

"Kapan lagi kau kesini Ron?", tanya bang Sofyan.

"Paling pas libur sekolah lah bang", jawabku.

"Ohya, kau kenapa harus kos sih? Kenapa gak tinggal disini aja?", tanya bang Sofyan penasaran.

"Kan jauh bang sekolahku, mahal diongkos lah kalo dari sini", jawabku.

"Kasian adik-adik kau itu, gak ada yang merhatiin orang itu (mereka). Ku tengok kau aja yang agak dewasa. Bapak kau pun jarang di rumah juga kan?", tanya bang Sofyan.

"Iya bang. Mau kekmana lagi lah bang, daripada banyak keluar biaya, tambah kasian awak sama ayah awak kan", jawabku singkat.

"Iya juga sih. Tapi sering-sering pulang lah kau ya, nanti abang ajak kau ikut kegiatan remaja masjid disini", kata bang Sofyan.

"In syaa Allah ku usahakan ya bang. Awak pun seneng kali bisa ketemu dan kenal sama orang kek abang, udah baik, sholeh pulak", jawabku.

"Hahaha... bisa aja kau bongaknya (bohong dalam rangka merayu) ya", kata bang Sofyan sambil tertawa lepas.

"Yaudahlah ya bang, awak mau siap-siap balek nih. Doakan awak biar bisa istiqomah ya bang", kataku sambil menyalami bang Sofyan.

"Ya sama-sama lah ya. Sampe ketemu lagi nanti ya", jawab bang Sofyan.

"Assalamu'alaykum bang...", kataku sambil melambaikan tangan

"Wa'alaykumsalam warohmatuLlahi wabarokatuh...", jawab bang Sofyan yang juga membalas lambaian tanganku.

***

Ku lihat rumah mulai sepi, aku pun masuk sambil mataku melihat ke sekeliling rumah, mencoba mencari kemana ayah dan adik-adiku. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara ayahku dari dalam kamar.

"Ronny sini kau dulu", panggil ayahku.

Aku pun mendatangi ayahku yang saat itu sedang duduk di kamar belakang sambil memberesi beberapa pakaian yang berserakan.

"Maafin Ronny Yah, awak kelepasan tadi pagi", kataku sambil menangis.

Jujur, aku tak bisa menutupi kesedihanku jika sudah berurusan dengan keluargaku, terutama adik-adikku. Harus ku akui memang, aku masih sangat egois, masih mau menang sendiri. Padahal adik-adikku juga sedang berada pada masa pencarian jati diri, masa dimana mereka juga gak mau terlalu dikekang, atau dipaksa harus mengikuti apa yang mereka tidak inginkan.

"Kau kan dah gede Ron, cobalah belajar ngalah sama adik-adikmu itu. Dari kecil kau yang paling dimanja ayah sama ibu kan? Sekarang coba kau bandingkan sama adik-adikmu?", kata ayahku.

Jleb...

Kata-kata ayahku ini bagai panah yang ditembakkan tepat mengenai ulu hatiku. Benar, dari kecil aku memang paling dimanjakan ayah juga ibuku, hampir semua yang aku minta, pasti dipenuhi. Mainan, baju baru, sepeda, dan lainnya.

Aku pun terdiam saat membandingkan kondisi adik-adikku. Mereka harus besar tanpa perhatian seorang ibu yang mencintai juga memanjakan mereka. Ibu kami lebih memilih untuk bekerja di Malaysia karena ingin mengumpulkan banyak harta, agar kami sekeluarga bisa lebih bahagia katanya. Namun faktanya tak seindah angan yang dirasa, keluargaku hancur, adik-adik jadi anak yang liar dan sulit terkendali.

"Iya Yah, awak tahu awak yang salah. Awak masih gak bisa ngontrol emosi Yah", kataku sambil menangis berderai air mata.

"Yaudah lah... cuma kau lah sekarang yang bisa ayah harapkan. Ayah minta tolong kali lah ya Ron, kau bantu ayah jaga adik-adikmu itu. Kasian orang itu, gak ada yang merhatiin", pinta ayahku.

"Iya Yah... in syaa Allah...", jawabku sambil mengusap air mata yang terus mengalir di pipi ini.

"Yah, awak mau balek ke kosan lah dulu ya. Daripada nanti kami ribut lagi disini", kataku meminta izin kepada ayahku.

"Cepet kali kau mau balek, baru semalem nyampe", jawab ayahku keheranan.

"Biar tenang dulu lah Yah disini. Awak pun kayaknya ada kegiatan di sekolah", kataku.

"Owh gitu, ya udahlah kalo kek gitu. Masih ada uang kau?", tanya ayahku.

"Masih kok Yah. Ayah gak usah mikirin uang untuk awak lah, untuk adik-adik aja uangnya. Awak kan udah kerja sekarang", kataku.

"Betul nih? Kau ambillah ini untuk uang jajan kau ya", kata ayahku sambil mengambir empat lembar uang pecahan lima puluh ribuan.

"Yaudah lah, makasih banyak ya Yah", kataku sambil mencium tangan ayahku.

Kebiasaan mencium tangan ini memang selalu ditekankan oleh ayah dan ibuku. Bukan hanya saat berangkat sekolah, saat pulang main atau saat menerima uang atau hadiah dari ayah dan ibu pun saya dan adik-adik dibiasakan untuk selalu mencium tangan mereka berdua. Setidaknya inilah satu kenangan dan kebiasaan baik yang masih terus kami lakukan sampai hari ini.

***

Setelah berpamitan dengan ayah, aku pun pergi meninggalkan rumah pagi itu.

"Mampir ke warnet dulu lah", pikirku.

Karena saat itu handphone masih menjadi barang yang sangat langka, jadi internet masih menjadi primadona bagiku. Kalau di sekolahku, internetnya gratis, jadi hampir setiap hari pasti ku sempatkan untuk berselancar di internet. Saat itu aplikasi MiRC dan Friendster (FS) masih memonopoli media sosial yang belum banyak memiliki saingan. MiRC adalah aplikasi untuk chatting, seperti Whatsapp dan yang semisalnya, sedangkan Friendster adalah jejaring sosial yang menjadi "kakek moyang"nya Facebook hari ini.

Setelah berjalan dan mencari-cari, akhirnya ketemu juga warnet yang sudah buka pagi itu. Aku langsung masuk dan lalu mencari bilik yang tidak ada penghuninya.

Setelah login ke MiRC, aku join ke beberapa room yang biasa ku kunjungi. Karena masih sepi yang online, aku pun sambil mengecek email.

"Wah ada 2 email baru nih", kataku sambil mengklik email tersebut.

Email pertama yang kubuka adalah dari Rasyid, salah satu yang sangat akrab denganku, teman satu sekolah sekaligus satu grup band. Saat itu kami punya grup band yang lumayan eksis, sering ikut festival, beberapa kali diundang menjadi bintang tamu pada event-event tertentu, juga sesekali manggung di beberapa cafe untuk menghibur juga mencari recehan. Rasyid sendiri adalah drummer kami yang paling berbakat, ia sangat mengidolakan Eno si drummer Netral yang sangat enerjik. Jefry gitaris kami yang rambutnya keriting gondrong itu, ngefans banget dengan Tommy Maran (gitaris Boomerang) dan Eet Sjahranie (gitaris Edane), tapi menurutku gayanya lebih mirip dengan Slash-nya Gun's n Roses, terutama rambutnya. Sedangkan aku dipercaya menjadi vocalis sekaligus memegang gitar rhythm. Kalau ditanya siapa idolaku, kayaknya aku mengadopsi gaya dan style-nya Chester (vocalis Linkkin Park) dan Billie Green Day. Ohya kelupaan, ada satu lagi anggota kami, si kalem Andre yang lebih senang pegang Bass, idolanya adalah Krist Novoselic basisnya Nirvana yang fenomenal.

"Kau dimana coy? Tadi kami ke kosanmu.
Kau gak lupa kan tanggal 27 besok kita ikut festival? Balas ya kami tunggu", begitu isi email yang dikirim Rasyid kepadaku.

Dengan sigap segera ku balas email tersebut, "Sorry coy gak bilang-bilang, aku mudik semalem. Ini aku lagi di jalan mau balek (pulang) kesitu. Nanti malam ngumpul di tempat Jefry kita ya", tulisku membalas email yang dikirim Rasyid.

Duh, hampir aja aku lupa festival itu.
Dari dulu kami berempat memang hampir tidak pernah absen kalau ada festival band, apalagi festival besok lusa ini cukup bonafit, sponsornya aja Djarum dan Nokia, hadiahnya juga lumayan gede dan sangat menggiurkan, gak mungkin kami sia-siakan kesempatan emas seperti ini.

"Hah? Dilla?", aku kaget ketika membaca email kedua yang belum terbaca. Mataku terpaku saat melihat sebuah alamat email yang dulu tak asing bagiku, dilla_nst@plasa.com.

Aduh, kenapa Dilla harus datang lagi saat ini, aku pikir dia sudah lupa denganku, hampir setahun kami tidak pernah lagi ketemu atau berkirim email. Aku sih sadar diri, mungkin Dilla sekarang juga sudah lupa denganku.

Aku coba membaca lagi alamat email tersebut, barangkali aku keliru. Benar ternyata alamat emailnya dilla_nst@plasa.com, ini memang Dilla. Dengan ragu aku pun penasaran untuk membaca pesannya, barangkali ada kabar penting.

"Hai Ron, apa kabarnya sekarang?
Lama banget ya gak kirim kabar, udah punya pacar baru ya? Atau memang udah lupa dan gak mau ketemu aku lagi?", tulisnya di awal pesan.

"Mana mungkin aku bisa melupakanmu Dilla, paling juga kamu yang lupa denganku", gumamku dalam hati.

"Eh Ron, besok dateng loh ya di ulang tahunku, gak lupa kan tanggalnya?
Plis banget ya dateng, aku gak akan memaafkanmu kalo sampe gak dateng loh, awas loh ya!!!", tulis Dilla di akhir pesannya.

"Ah... kenapa Dilla harus hadir lagi Yaa Allah? Aku sayang banget sama dia, tapi aku gak mau balik lagi bermaksiat dan membuka pintu setan Yaa Allah... Apa yang harus ku lakukan Yaa Allah???", jeritku dalam hati.

Dengan sedikit ragu, aku pun membalas email Dilla.

"Wah udah lama banget kita gak ketemu ya Dil, masih suka sate kerang gak? Hahaha...", tulisku memulai email.

"Aku sehat-sehat Dil, semoga dirimu juga sehat terus ya. Eh ngomong-ngomong, dirimu belum punya pacar baru kah? Kalo aku sih kayaknya setia nunggu kamu aja deh, lagian di SMK isinya kan homo sapiens semua, ahahaha...", aku melanjutkan pesanku.

"Sekarang dirimu masih suka ngancem juga ya, aku jadi pengen liat kek gimana sih ekspresi wajahmu sekarang waktu ngancem ini, hihihi... Aku usahakan dateng deh Dil, tunggu aku ya, wkwkwkwk", tulisku untuk mengakhiri pesan.

Send... email terkirim.

***

Dilla...

Tiba-tiba nama ini kembali hadir dalam anganku. Bayangan dan kenangan bersamanya masih terekam sangat kuat di dalam benakku. Bahkan tawa dan candanya terkadang masih terus menggema di dalam setiap sunyi dan sendiriku.

Aku terduduk dan termenung sejenak, seolah terpampang kembali di hadapanku rekaman-rekaman episode indah dan bahagia saat bersamanya...

Bersambung in syaa Allah

Next : Godaan Yang Melalaikan (2)

Selasa, 26 Juli 2016

Seri 8 : Keluargaku... (2)

Rumah yang dikontrak ayahku tidak terlalu besar, bangunannya juga masih sangat sederhana. Di bagian atas dipasang seng sebagai atapnya, namun karena tidak dipasang asbes di dalam rumah, jika panas terik, maka seisi rumah rasanya seperti di dalam oven, panas. Tembok rumahnya juga masih dari kayu sebagiannya, sedang lantainya tidak dipasangi keramik. Walau demikian, rumah kontrakan ini punya dua kamar tidur, ruang tamu sekaligus ruang makan, juga dapur dan kamar mandi. Tetapi karena rumah kontrakan ini berjejer 4 rumah, maka setiap 2 rumah sumurnya hanya ada 1. Di depan rumah kontrakan ada perkebunan ubi kayu yang cukup luas, katanya sih milik yang punya rumah kontrakan kami ini, sedangkan di belakangnya ada beberapa petak sawah yang ditanami padi dengan sangat rapi.

Tetangga sebelah juga kesannya cuek dan kurang peduli dengan sekitarnya, buktinya semenjak aku datang belum ada satu pun tetangga yang menyapa dan ngajak ngobrol.

"Mungkin karena hari libur, paling masih pada tidur atau dolan (main) entah kemana, makanya sepi", pikirku

Sebentar lagi sholat zuhur, aku harus siap-siap untuk berangkat sholat.

"Pak, masjidnya dimana ya?", tanyaku pada bapak tetangga sebelah yang sedang duduk-duduk di teras rumahnya

"Ikuti aja jalan di depan itu, nanti di ujung jalan kelihatan kok menara masjidnya", jawab bapak tersebut

"Makasih ya pak. Saya anaknya pak Kusnan yang tinggal disitu (sambil menunjuk ke rumah kontrakan kami), baru sekarang bisa kesini, makanya masih bingung, hehehe", kataku sambil mengakrabkan diri

"Owalah pantes, ku tengok mukamu asing. Bapakmu dah pulang?", tanya bapak itu

"Katanya sih sore ini pak", jawabku

"Ibu kelen (kalian) kemananya rupanya?", tanya bapak itu penasaran

"Kerja di Malaysia pak, bantu-bantu uwak disana", kataku

"Wah... paten lah itu, banyak duitnya tuh disana", katanya sambil cengengesan

"Hehehe... enggak juga lah pak", aku sebenarnya agak males kalau udah membahas hal ini, gak tahu kenapa

"Yaudah lah ya pak, aku mau ke masjid dulu, dah mau adzan kayaknya", kataku sambil berpamitan

***

Sesampainya di masjid, ku lihat ada anak seusiaku sedang mempersiapkan sajadah.

"Maa syaa Allah... rajin juga anak ini", gumamku karena kagum

"Assalamu'alaykum...", aku mengucapkan salam kepadanya

"Wa'alaykumsalam...", jawabnya sambil membentangkan sajadah satu persatu

"Sendiri aja nih bang? Ku bantuin ya bang", kataku sambil membantunya membentangkan sajadah

"Biasalah ini. Kau anak mana?", katanya penasaran

"Oiya bang, aku Ronny anaknya pak Kusnan yang ngontrak di deket sawah itu", kataku sambil menyodorkan tangan

"Aku Sofyan", jawabnya

"Pak Kusnan yang pelaut itu ya? Berarti kau siapanya Jono?", tanyanya padaku

"Iya betul bang, awak abangnya Jono, hehehe", jawabku

"Owh yang sekolah di Percut itu ya?", tanyanya lagi

"Iya betul bang", jawabku

"Oke, nantilah kita lanjut ngobrolnya ya, udah masuk waktu zuhur nih kayaknya, mau adzan dulu aku", katanya

Aku membalasnya dengan mengacungkan jempolku saja.

***

Suara bang Sofyan lumayan merdu, aku sampai hanyut mendengarkan alunan adzannya yang indah. Luar biasa nih bang Sofyan...

Tak berapa lama kemudian, ku lihat mulai banyak yang berdatangan ke masjid. Luar biasanya, mayoritas adalah anak-anak muda seusiaku.

"Maa syaa Allah... luar biasa anak-anak muda disini rupanya", gumamku dalam hati. "Kalau begini, kayaknya aku bakal betah tinggal disini"

Selepas sholat, aku duduk di teras masjid sambil berdzikir. Sesaat kemudian, bang Sofyan dan beberapa jamaah sholat tadi mendatangiku.

"Assalamu'alaykum...", bang Sofyan memberikan salam sambil mengangkat tangan kanannya
"Wa'alaykumsalam bang...", aku menjawab salamnya

"Nih kenalin kawan-kawan kita disini. Ini Nico, Dedi, Iwan dan Ardi", bang Sofyan mengenalkan satu persatu orang yang bersamanya saat itu "

Aku Ronny bang", kataku sambil menyalami mereka satu persatu

Siang itu kami semua terlihat sangat akrab sekali, padahal baru aja ketemu. Kesan pertama yang saya tangkap, mereka ini orangnya mudah bergaul, juga kelihatan sangat akrab dan kompak. Tak terasa karena saking asyiknya ngobrol, waktu sholat ashar pun tiba, luar biasa!

***

Malam itu cuaca terlihat agak mendung, gelapnya awal seolah ingin menutupi cahaya indah yang dipancarkan oleh rembulan. Sesekali terdengar suara gemuruh di atas langit, memecah kesunyian malam yang bisu, menjadi pertanda awal akan datangnya hujan. Secara umum cuaca di luar sangat syahdu juga dingin karena banyaknya angin yang berhembus.

Di dalam rumah, aku mencoba berdiskusi dengan ayahku yang semenjak sholat maghrib sudah pulang. Aku ingin mengajak ayah, ibu juga adik-adikku untuk kembali kepada Allah, yakni dengan memperbanyak ibadah kepada-Nya.

"Ayah kapan berangkat lagi?", tanyaku memulai pembicaraan

"Mungkin besok atau lusa, kenapa rupanya?", jawab ayahku

"Kekmana di laut Yah? Lancar-lancar aja kan kerjaannya?", tanyaku lagi

"Ya gitu lah, namanya juga kerja pake otot. Apalagi ayah kan kerjaannya dua kali kan", jawab ayahku singkat

Ayahku di kapal selalu disuruh untuk nyambi jadi koki, jadi emang kerjaannya double. Kalau yang lain, kerjaannya cuma pasang dan narik pukat (yakni jaring besar untuk menangkap ikan) saja. Namun ayahku tidak, setelah pasang dan narik pukat, beliau harus ke dapur lagi untuk menyiapkan makan ABK (Anak Buah Kapal) yang lain, jadi memang kerjaan ayahku lebih berat.

"Ayah masih kuat rupanya kerja di laut?", tanyaku penasaran

"Lha mau kekmana lagi, nyari kerja di darat kan susah, cuma bisa kerja di laut aja Ayah", jawab ayahku.

"Ngomong-ngomong, ibu kau sering kirim uang gak? Uang sekolah kau kekmana? Masih ada gak uang kau?", ayahku mulai memberondongku dengan banyak pertanyaan

"Awak jarang hubungi ibu Yah. Awak kan kerja, jadi ayah gak usah kepikiran (khawatir) biaya sekolah awak. Walau gajinya gak gede, tapi kalau untuk makan awak sendiri aja, lebih dari cukup lah. Untuk ang sekolah awak kan gak bayar Yah, ditutupi beasiswa", jawabku

"Baguslah...", jawab ayahku datar

Ini salah satu kelemahan ayah dan juga ibuku, jarang sekali mereka mau memuji anak-anaknya. Bahkan untuk sekedar ngobrol aja seperti gak ada waktu. Walau demikian, aku sudah terbiasa dengan hal ini.

"Oh iya Yah, awak kok gak pernah lagi liat ayah sholat ya?", tanyaku mulai serius

"Kenapa rupanya?", jawab ayahku

"Ya kan sholat itu wajib Yah, gak boleh ditinggalin kan", jawabku

"Di laut mana sempat mikirin sholat, kerjaannya banyak nguras tenaga, tempatnya juga kan kotor, gak ada yang bersih", jawab ayahku berkilah

"Kalau di rumah kan gak sibuk Yah?", tanyaku lagi

"Capek kali Ayah. Hati ayah juga belum bersih", jawab ayahku

"Belum bersih kekmana maksudnya Yah?", tanyaku penasaran

"Belum tenang, masih banyak pikiran", jawabnya datar

Walau aku bingung dengan jawaban ayahku yang gak nyambung itu, tapi aku coba memahami bahwa memang ayahku coba mencari-cari alasan untuk membenarkan kesalahannya itu.

"Ayah cobalah untuk sholat lagi, doakan kami nih anak-anak Ayah biar bisa bahagia di dunia dan akhirat nanti", aku coba menjelaskan

"Kau pikir ayah kerja itu bukan untuk itu (membahagiakan anak-anaknya)? Ayah kerja nyari uang siang malam itu ya untuk kelen (kalian)!", jawab ayahku dengan suara sedikit meninggi

"Kalau Ayah gak sholat, nanti hati ayah gak tenang loh Yah. Kalau hati udah gak tenang, mau ngapa-ngapain (melakukan apapun) juga gak enak kan Yah?", jelasku singkat

"Kau jangan sok ngajari ayah lah! Nanti kalau ayah udah bersih hatinya, gak usah kau suruhpun sholatnya ayah", jawab ayahku dengan suara yang makin meninggi

"Jangan gitu lah Yah, kita kan gak tahu kapan kita mati...", aku coba menjelaskan

"Kau doain ayah cepet mati ya? Udah lah kau fokus aja ke sekolah kau, jangan mikir yang macem-macem dulu. Jangan sampe putus sekolah kau, biar kau gak kerja kayak ayah dan gak susah kayak ayah kau ini!!!", jawab ayahku mulai emosi

Karena kulihat diskusi kami udah gak kondusif dan malah memanas, aku putuskan untuk mengakhiri diskusi ini. Aku harus menerima kenyataan ini, ayahku masih sangat keras, dan ternyata dakwah pertamaku kepadanya gagal total...

***

Malam ini aku tidur agak lebih cepat dari biasanya. Sambil mendengarkan radio KISS FM dari walkman kesayangan, aku rebahkan badanku di atas kasur di kamar depan. Satu kebiasaan ini yang sangat sulit aku tinggalkan, selalu saja serasa ada yang kurang jika tidak mendengarkan musik. Bahkan pernah saya coba untuk tidak mendengarkan musik sebelum tidur, namun hasilnya mataku tidak bisa terpejam, walau rasa kantuk sangat kuat menyerang.

Tepat jam 04.00 aku terbangun. Selesai berdoa, aku langsung menuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan persiapan sholat tahajud. Saat melewati ruang tengah, ku lihat ayahku sedang tertidur pulas di depan TV, ada segurat kelelahan yang tergambar sangat jelas dari wajahnya. Semoga Allah segera memberimu hidayah wahai ayah yang kucinta...

Di kamar belakang, terdengar suara musik masih bergema, "mungkin adik-adikku belum tidur", pikirku

Ternyata mereka bertiga sudah tertidur dengan pulas, dengan posisi yang tidak karuan. Aku perhatikan lagi wajah-wajah adikku, aku masih ingat betul bagaimana lucunya mereka saat masih kecil. Adikku Jono dan Joni ini adalah anak kembar yang tergolong identik, bahkan ayah ibu dan aku sendiri masih susah membedakan mana yang Jono dan mana yang Joni saat mereka masih berumur 1 sampai 2 tahunan. Belum lagi, jika Jono memakai baju warna merah, namun Joni malah dipakaikan baju warna kuning, pasti keduanya akan menangis, dan tangisannya baru diam jika mereka dipakaikan baju yang warnanya sama. Aku juga masih ingat saat ibu menggendong Jono ketika mau ke warung, tapi beberapa saat kemudian Joni menangis histeris, dan baru diam saat ibu juga menggendongnya ikut ke warung. Ya, ibuku harus sabar menggendong Jono dan Joni kecil saat itu. Kini Jono dan Joni sudah besar, bahkan tinggi badannya hampir sama denganku.

Tiba-tiba air mataku jatuh, betapa aku telah menjadi teladan yang buruk bagi adik-adikku ini, aku telah menjadi abang yang tidak memberikan contoh yang baik kepada mereka. Walah kami sering bertengkar, dari lubuk hatiku yang terdalam, aku sangat mencintai adik-adikku ini, mungkin perasaan inilah yang diwariskan mendiang abangku pada 15 tahun yang lalu.

Aku segera mematikan vcd player yang masih menyala itu, lalu setelahnya aku segera menuju ke kamar mandi. Usai sholat tahajud, aku bersiap-siap berangkat ke masjid untuk mengerjakan sholat subuh. Aku lalu membangunkan ayahku agar mau ikut pergi ke masjid

"Yah bangun, udah mau subuh, ke masjid kita yuk!", kataku sambil menggoyang-goyangkan bahu ayahku

"Hmm... iya iya, kau duluan lah...", jawab ayahku dengan mata masih terpejam

"Udah mau subuh nih Yah, bangunlah", aku masih terus menggoyang-goyangkan badan ayahku untuk membangunkannya

"Kau ini ganggu aja pun!!! Capek kali ayah, kau sholat sendiri aja lah sana", jawab ayahku dengan suara yang sedikit meninggi

AstaghfiruLlah... kenapa ayahku seperti ini...

"Dik bangun... udah mau subuh...", aku lalu coba membangunkan adik-adikku

"Joni ngantuk kali lah bang!", jawab adikku Joni

Aku lalu menggoyang-goyangkan kaki adikku Jono, sambil menepuk-nepuk pahanya Joni

"Ayo bangun... udah mau subuh nih, sholat dulu lah sebentar, nanti tidur lagi", kataku untuk merayu mereka

Di luar dugaanku, ternyata Jono malah merespon ajakanku dengan emosi yang meledak

"Kau ini maunya apa sih bang hah?!?", teriak Jono

"Abang mau kelen (kalian) ikut ke masjid, sholat", jawabku dengan sabar

"Kalau mau sholat, sholat sendiri aja sana, ngapain ngajak-ngajak!!!", teriak Jono lagi

"Kelen itu udah wajib sholat, bukan anak kecil lagi, berdosa kalo kelen ninggalin sholat!", jawabku

"Halah jangan sok ceramah lah kau, kayak udah paten kali kau ini!!!", kata Jono dengan ketus

"Ngomong kau kok jadi gak enak gini, abang kan ngajak sholat kan baik-baik, kenapa kau jadi kekgini?", jawabku mulai terpancing emosi

"Kau ini dari dulu gak pernah mau ngalah jadi abang, terus mau menang sendiri. Dari semalem ku tengok, kau udah mancing-mancing duluan nyari gara-gara, macem udah paten kali kau rupanya hah?!?!", jawab Jono sambil sedikit menantang

"Udahlah... kelen ini berantem terus, udah gede pun. Gak ada lah malunya kelen ini!!!", Joni berusaha meredakan pertengkaran kami

"Eh Jono! Kau yang sopan sikit kalo ngomong, aku ini abang kau. Aku ngajak kelen sholat itu baik-baik, jadi jangan kau nantang-nantangin kek gitu (seperti itu)!!!", kataku dengan emosi yang mulai terpancing

"Halah... sok suci kau itu, padahal dulu bejat juganya kau!!!", teriak Jono

Bug...

Akhirnya ku lepaskan bogem (pukulan) tepat ke perutnya

"An**ng kau... tunggu disini kau ya!!!", kata Jono sambil berlalu ke dapur

"Udahlah bang... kau pun gak berubah, masih keras kali kau sama kami!!!", teriak Joni kepadaku

"Makanya kelen jangan mancing-mancinglah...", jawabku sambil menahan emosi

"Ayo sini kau, siapa yang duluan mati kita sekarang!!!", teriak Jono sambil tangannya memegang sebilah pisau yang diambilnya dari dapur

"Oh jadi kau mau serius, jangan nyesel kau ya!!!", jawabku sambil mataku nyari senjata yang bisa kupakai untuk ngelawan Jono

Saat itu aku sudah kalap, pikiran jernihku sudah hilang ditelan oleh amarah yang tengah membara. Aku sangat tidak terima jika adikku memakiku, apalagi sampai ia berani menantangku! Aku cari di seisi kamar senjata yang bisa kupakai, hanya ada sebatang sapu. Ini pun jadi...

Tiba-tiba Jono langsung menikamkan pisau yang dipegangnya ke arahku, ia menarget perutku. Secara reflek aku menghindari serangannya, sambil kupukulkan gagang sapu yang ku pegang ini ke tangannya.

Pisau yang dipegangnya pun terjatuh, lalu dengan sigap ia kembali mengambil lagi pisau tersebut

"An**ng kau, mati aja kau lah!!!", teriak Jono sambil meringis menahan sakit di tangannya

"Woy... sopan sikit kau kalo ngomong!!!", teriakku padanya Mendengar suara gaduh di kamar belakang, ayahku pun bangun, beliau langsung berlari ke belakang

 "WOY ANAK SETAAAN!!! NGAPAIN KELEN INI HAH?!?!", teriak ayahku seperti orang kesurupan

Bersambung in syaa Allah

Next : Godaan Yang Melalaikan

Jumat, 22 Juli 2016

Seri 7 : Keluargaku...

"(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya (emosinya) dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali 'Imran : 134)

***

Sebenarnya ada secuil rasa malas saat aku harus pulang ke rumah, bukan karena aku anak durhaka yang gak patuh dan taat pada orang tuanya, bukan!

Aku merasa saat kumpul dengan keluarga, ada sebagian kebebasan dan kesenanganku yang hilang. Oleh karenanya, banyak teman-temanku yang bilang kalau aku ini sangat berbeda dengan adik-adikku, dari sisi fisik dan penampilan, apalagi pemikiran. Harus kuakui memang, orang tuaku minim perhatian kepada anak-anaknya semenjak peristiwa 15 tahun yang silam, terutama masalah pendidikan.

Sebelum peristiwa itu, keluarga kami termasuk keluarga yang berkecukupan, harta juga rumah pun termasuk di atas rata-rata saat itu. Namun kini, 15 tahun pasca kejadian yang banyak merenggut episode-episode indah di dalam keluargaku, kami hidup berantakan, tak layak rasanya disebut sebagai sebuah keluarga.

Ayahku kini bekerja di sebuah kapal pelayaran, sudah barang tentu beliau jarang sekali pulang dan berkumpul dengan kami selaku anak-anaknya. Sedangkan ibuku lebih memilih bekerja di Malaysia, membantu kakaknya yang punya usaha toko elektronik katanya.

Adik-adikku saat disuruh memilih ikut ayah atau ikut ibu, ternyata lebih memilih ikut ayah, katanya lebih enak ikut ayah karena uang jajan terjamin, sedangkan aku lebih memilih tidak ikut keduanya.

Saat masih SMP, aku sempat tinggal beberapa lama bersama ayah dan adik-adikku, saat itu aku masih berada dalam masa-masa puber juga labil. Aku bak raja saat itu, apapun yang kuinginkan harus dipenuhi oleh ayahku, tak peduli bagaimana caranya. Bahkan aku sering berantem dengan adik-adikku yang memang tak terlalu jauh selisih umurnya denganku, hanya terpaut 2 tahun saja.

Tanpa kusadari, ternyata apa yang kuperbuat dan kulakukan saat itu direkam dan bakal ditiru oleh adik-adikku, termasuk nakal dan gak bisa diaturnya. Beberapa kali aku dapat kabar kalau ayahku sering cekcok mulut dengan adik-adikku, dan saat itu aku tak peduli sama sekali. Inilah diantara sekelumit alasan yang menyebabkan aku selalu malas untuk pulang ke rumah.

***

Namun hari ini, aku mengenyampingkan hal-hal tersebut. Aku sudah bertekad untuk mengajak ayah, ibu dan adik-adikku untuk sama-sama berjalan di atas jalan hidayah ini.

Pagi itu, tepat pukul 07.00 WIB, aku putuskan untuk pulang ke rumah, mumpung masih ada waktu liburan kurang lebih seminggu lagi ke depan. Jarak kosan ke rumahku lumayan jauh, kurang lebih 1 jam perjalanan jika ditempuh dengan bis umum. Jika perjalanan lancar dan gak macet, maka seharusnya sekitar jam 08.00 aku akan nyampe di rumah.

Rumah yang saat ini ditempati ayah dan adik-adikku adalah rumah kontrakan. Kami memang senantiasa jadi kontraktor (istilah yang dipakai untuk orang-orang yang selalu ngontrak rumah), selalu hidup berpindah-pindah tempat. Rumah terakhir yang aku tuju ini adalah kontrakan kelima yang pernah ditempati.

AlhamduliLlah akhirnya sampai juga...

Sayup-sayup kudengar ada dentuman musik yang cukup kencang dari dalam rumah itu

"Pasti adikku di rumah", pikirku

Segera saja ku ketok pintu rumah, sembari mengucapkan salam

"Assalamu'alaykum...", ucapku dengan sedikit suara ditinggikan

Tak terdengar ada jawaban dari dalam, mungkin suaraku kalah kencang dengan musik yang sedang menggelegar saat itu

"Assalamu'alaykum...", kali ini aku sedikit menguatkan gedoran juga suara salamku

"Wa'alaykumsalam... siapa?", sahut suara dari dalam rumah, dari nadanya, sepertinya suara adikku yang bernama Jono

"Abang nih Jon, bukalah pintunya...", kataku

"Tunggu bentar bang!", jawab Jono

***

Adikku Jono ini punya saudara kembar, Joni namanya, ada yang unik dari kedua adikku ini. Joni lahir siang hari, sedangkan Jono lahir malam harinya. Seharusnya secara medis, Joni adalah abangnya Joni. Tetapi karena disebabkan kondisi kesehatan Joni yang sering bermasalah, akhirnya Jono yang lebih kuat fisiknya, sering terlihat berperan menjadi abang bagi Joni, sejak saat itu hingga hari ini, ayah ibuku memanggil Jono sebagai abang, dan Joni dipanggil adik.

"Ayah kapan pulang?", tanyaku pada Jono

"Nanti malam kayaknya, nih lagi ke rumah kawannya di Belawan", jawab Jono

"Joni sama Budi mana?", kataku sambil melihat ke sekililing rumah

"Baru keluar orang itu, main PS (playstation) kayaknya", jawab Jono sambil ngisi TTS

Karena suara musik di dalam rumah saat itu terlalu kencang, aku berinisiatif untuk mematikannya.

"Kenapa kau matikan Bang?", tiba-tiba terdengar suara Jono sedikit protes

"Bising kali suaranya!", jawabku

"Kau jangan cari masalah lah Bang, dari dulu kemauan (keinginan) kau aja pun yang mau dituruti!", suara Jono agak meninggi penuh emosi

"Pagi-pagi rumah kita yang paling bising, gak enaklah sama tetangga", aku mencari alasan biar emosi Jono mereda

"Gak berubah kau ya, dari dulu mau menang sendiri!!! Muak pulak aku ketemu kau!!!", suara Jono malah meninggi sambil berlalu pergi

Gubraaak....

Jono membanting pintu dengan sangat kerasnya.

"AstaghfiruLlah... Yaa Allah... ampunilah aku dan adikku", aku hanya bisa membatin saat itu

***

Aku lihat di dapur banyak piring kotor tergeletak, segera saja ku cuci semua piring kotor itu. Bisa dibayangkan bagaimana keadaan rumah yang dihuni oleh 3 anak laki-laki yang masih umur belasan, yang waktu hariannya lebih banyak dihabiskan untuk main di luar rumah.

Sehabis nyuci piring, aku pun coba untuk bersih-bersih kamar mandi, juga seisi rumah. Banyak pakaian kotor yang berserakan di kamar, baju yang gak tertata rapi di dalam lemari, tong sampah di dapur yang udah numpuk, lantai rumah juga berdebu, komplit sudah kapal pecahnya.

Setelah dapur dan kamar mandi beres, aku lalu pergi untuk membersihkan kamar, setelahnya baru ruang tengah, tiba-tiba ingat salah satu judul film yang lagi ngetrend saat itu "Inem si Pelayan Seksi", hari itu aku serasa jadi Inem, hahaha

"AlhamduliLlah... beres semua kerjaan...", gumamku dalam hati

Melihat rumah sudah tertata rapi dan bersih begini, ada satu rasa kepuasan tersendiri yang menyeruak di dalam hati. Benar kata RasuluLlah, bahwa Allah itu Maha Indah lagi suka dengan segala sesuatu yang indah. Makanya jika memang iman kita benar kepada Allah, tentu jiwa kita (termasuk mata dan anggota tubuh yang lain) akan mencintai dan menyukai keindahan, kerapihan juga kebersihan.

Setelah rumah beres, kini saatnya untuk mandi, terus sholat dhuha. Ku lihat jam di dinding saat itu sudah menunjukkan pukul 10.25.

Sehabis sholat dhuha, rasa ngantuk yang luar biasa menyerangku. Capek ditambah sedikit rasa dongkol karena sikap adikku tadi, membuat rasa kantuk ini semakin menjadi. Langsung saja ku rebahkan tubuh ini di hamparan sajadah yang belum ku lipat ini.

Ku pikir hari ini aku bisa dengan mulus mendakwahi ayah dan adik-adikku, tapi ternyata hari ini aku harus menerima kenyataan pahit ini, adikku ingin membunuhku!!!

Bersambung in syaa Allah

Next : Keluargaku... (2)

Popular Posts

Supported By:

Supported By:
warungkoski.com
Diberdayakan oleh Blogger.